Jejak Orang Batak di Jakarta
Ada Hal yang Teramat Menarik sekali saat setelah saya membaca dan meresapi tulisan Bapak Dahlan Iskan (CEO PLN), beliau punya karya tulisan yang mengangkat tema kehidupan sehari-hari salah satunya yang ada pada buku Ganti Hati.
Tulisan ini sebenarnya bukan murni tulisan saya, namun saya buat cuplikannya kembali dari tulisan salah seorang kawan yang memberikan komentar terhadap tulisan dari Bapak Dahlan Iskan, tulisan yang mengangkat tema karakter dan kepribadian dari bangsa China, dalam berbagai kondisi baik susah maupun dalam keadaan berada, bangsa China tetap memiliki kepercayaan diri yang tinggi, tidak minder akan profesi yang bagi kebanyakan kita dianggap “rendahan”, dan tidak menjadi semena-mena saat mendapatkan posisi yang “nyaman”. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan “asupan gizi” bagi kita, selaku Orang Batak. Berikut tulisan saya yang di inspirasikan oleh tulisan beliau yang saya lompati beberapa paragraf.
Selamat membaca….!
——————————————————————————————————————————————-
Menurut catatan para ahli,
orang-orang Batak sudah datang ke Jakarta sejak awal 1900-an. Beberapa dibawa dari Tapanuli oleh Belanda sebagai pembantu dan pekerjanya di Jakarta yang kala itu bernama Batavia.
Saat itu, Batavia sudah menjadi tempat mencari pekerjaan yang populer dan menjadi tujuan perantauan orang-orang daerah. Salah satu diantara generasi Batak Tembak Langsung (BTL) pertama, yang datang ke Jakarta.
Adalah Simon Hasibuan, seorang tamatan Seminari Pansurnapitu Tarutung yang tiba di Jakarta tahun 1907. (O.H.S. Purba, 1998). Semenjak itu, gelombang migrasi para BTL ke Jakarta makin kuat. Dan, ini tampaknya didorong oleh makin kuatnya magnet Jakarta menarik orang-orang dari luar pulau Jawa. Menurut Lance Castles, (Castles, 1967) walau para BTL datang agak belakangan dibanding para imigran dari, misalnya, Indonesia Timur, jumlah imigran dari Sumut (dimana BTL termasuk di dalamnya) termasuk yang besar.
Menurut sensus tahun 1961, 5 dari tiap 1000 imigran adalah orang Batak. Jumlah imigran terbesar datang dari Sumatera Barat (18,2), Maluku (8,2) dan Sulawesi Utara (6,7).
Menurut sensus tersebut, jumlah orang Batak menempati urutan keenam penduduk Jakarta kala itu. Berturut-turut mulai dari yang terbanyak adalah orang Sunda, 952,5 ribu orang (32,8%), Jawa, 737.700 orang (25,4%), Jakarta Asli 655 ribu orang (22,9%), Minang, 60,1 ribu orang (2,1%), Sumatera Selatan, 34,5 ribu orang (1,2%) dan Batak 28,9 ribu orang (2,1%).
Dari Sumatera Utara sendiri, sudah bisa dipastikan pendatang dari kalangan BTL inilah yang paling besar jumlahnya. Castles memperkirakan 90% dari orang kelahiran Sumatera Utara di Jakarta, adalah orang Batak. “The other people of North Sumatra are mainly East Coast Malays and Javanese, who are found in Djakarta, though I would think in fairly small numbers.,” tulis Castle dalam penelitiannya.
Para BTL itu ketika ketika tiba di Jakarta mempraktekkan Macho-macho (Mangan co mangan,- red) dengan tinggal beramai-ramai, menumpang di rumah-rumah keluarga Batak yang sudah terlebih dulu tinggal di Jakarta.
Sebagai contoh lagi, pada tahun 1917, seorang Batak bernama F. Harahap, telah memerankan diri sebagai sponsor bagi kedatangan para BTL-BTL itu. Harahap yang bekerja sebagai guru, menyediakan rumahnya di kawasan Sawah Besar untuk menerima kehadiran para BTL yang akan mengadu nasib ke Jakarta. Konon, Di sebuah majalah Mingguan bernama ‘Surat Keliling Imanuel’ terbitan Laguboti, Harahap menuliskan pemberitahuan yang berbunyi:
“Siapa saja dari antara bapak dan ibu yang akan memberangkatkan anaknya ke Batavia, untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan, agar lebih jelas datanglah ke alamat saya. Alamatku: F.Harahap, tinggal di perbatasan Sawah besar dan Kebun jeruk, no.18, Batavia” (O.H.S. Purba, 1998).
Pertanyaan :
“Masih adakah di antara kita orang Batak yang mau berbuat serupa seperti F Harahap.?,
——————————————————————————————————————————————-
Pada periode 1960-an hingga 1970-an, keberadaan Jakarta sebagai tujuan rantau favorit di kalangan Batak tak terbantahkan lagi. Dan yang paling antusias dalam hal ini adalah para BTL itu.
Dalam nada hiperbolik, Dalton bercerita tentang bagaimana dahsyatnya migrasi orang Batak itu bergerak bak gelombang dengan menumpang kapal Tampomas yang legendaris.
“Each week the ship Tampomas down to Jakarta is packed, but coming back is empty,” tulis Dalton dalam bukunya tentang Indonesia. (Dalton, 1980).
Di kala itu sudah sangat terkenal –bahkan hingga ke pelosok tanah Batak –nama sejumlah tokoh Batak yang dengan tangan terbuka menerima para BTL-BTL ini. Salah satu bagian dari rumah mereka biasanya telah disulap jadi semacam rumah singgah. Siapa saja boleh datang dan pergi. Beras dan ikan asin selalu tersedia. Siapa saja yang lapar, boleh masak (tentu saja masak sendiri,- ). Kalau belum ada tempat tinggal menetap, boleh menginap dengan tidur dimana saja ada tempat kosong. Entah di sofa tua di beranda, di dapur dengan alas koran, di garasi atau terserah di bagian mana yang anda pilih.
Sekarang ini, mungkin sudah tidak ada lagi yang seperti itu di Jakarta ini. Apalagi di antara kita sesama Batak. Berani taruhan..?, Ya, Kenyataan yang teramat menyedihkan memang.
Dulu, Banyak diantara para BTL itu yang menjadi supir taksi sambil kuliah, sembari berpindah-pindah menumpang makan-tidur dari satu ‘rumah singgah’ ke ‘rumah singgah’ lainnya. Karena lowongan di Pemerintahan kala itu masih benar-benar ‘lowong’ dikarenakan tenaga terdidik belum mencukupi, maka banyak jua lah para BTL-BTL yang sudah tersentuh oleh pendidikan secukupnya di bona ni pasogit dapat diselip-selipkan untuk menjalankan roda birokrasi. Pada gilirannya, kabar tentang ‘selap-selip’ di birokrasi ini tersebar cepat ke kampung halaman dan menjadi berita harum yang makin merangsang gairah melanglang Jakarta.
Berbagai tokoh dari marga tertentu mencuat sebagai penampung para BTL itu.
Amarhum AE Manihuruk, Kepala BAKN, merupakan salah satu nama paling terharum yang saya sebutkan karna pernah menjadi ‘lentera hidup’ yang serba guna bagi sesamanya orang Batak di tahun 1970 – 1980 an. Dan Tak dipungkiri, karna jasa beliau lah perkampungan-perkampungan Batak tercipta di wilayah Cawang-UKI, Mayasari-Cililitan, lengkap dengan ciri-khasnya, yaitu anjing-anjing piaraan bebas berkeliaran dan LAPO (warung makan khas Batak), beredar disekitar perkampungan.
Hanya Dengan menyebut hubungan kekerabatan dengan salah satu marga, segera seseorang diketahui bagaimana kedudukannya dalam silsilah dan ia pun diterima untuk jadi bagian dari BTL ala Mangan ora Mangan itu. Silsilah dalam hal ini kadang-kadang tak lagi hanya dalam ukuran satu generasi.
Hubungan kekerabatan dalam rentang dua sampai tiga generasi pun masih merupakan senjata yang sakti untuk dapat memperoleh tumpangan. Itu ceritera dulu.
Menurut Castles, sejak dari generasi awal, para BTL tersebut sudah tinggal secara menyebar di seantero Jakarta, kendati konsentrasi mereka dapat ditemukan di beberapa wilayah yang tergolong elit. Yang paling banyak adalah di kawasan Kemayoran (tanah garapan eks bandara) dan Gambir.
“There was still a clustering of Toba Batak around their oldest church at Gang Kernolong, but most of them were scattered, especially through the newer residential secitons near the fringers of the city.,” tulis Castles. (Castles, 1967)
Selain ngumpul di rumah-rumah para sesepuh atau pentolan marga, ibadah di gereja tentu menjadi salah satu event favorit untuk bisa bertemu sesama BTL di perantauan.
Selanjutnya, forum arisan keluarga mau pun marga ikut mengambil peran sebagai pentas silaturahmi, melepas rindu, cari jodoh, cari lowongan pekerjaan dan cari channel lobby. Arisan dalam skala kecil mau pun besar, tak hanya merupakan forum untuk mengetahui who’s who in the club, tetapi juga who’s new in the city.
Arisan selain juga berperan sebagai show room, tempat kita mengenal siapa saja pentolan suatu marga, melainkan juga jadi outlet untuk melihat siapa saja anggota marga yang baru tiba di Jakarta. Di arisan lah, para BTL pendatang baru datang memperkenalkan diri seraya menghimbau dan memohon, siapa tau ada yang bisa memberikan bantuan apa saja, termasuk lowongan kerja atau peluang bisnis.
Sekali lagi, Macho-macho (Mangan co mangan), itu masih dapat ditemukan di arisan demi arisan itu. Manjaha, yang merupakan eufemisme dari bermain kartu remi atau mar-joker, untuk melewatkan waktu, yang merupakan kebiasaan yang sudah muncul sejak dulu dan masih dapat ditemukan hingga sekarang nampaknya menjadi bagian dari gaya hidup yang telah melahirkan banyak anekdot, kisah yang lucu mau pun yang tragis, bahkan sudah pula ada yang menciptakan lagunya.
Demi kehormatan dan kesuksesan, orang Batak lalu mengembara. Di perantauan, mereka membuat jejak berupa perkampungan Batak, gereja, dan deretan ”lapo” atau kedai khas Batak yang tertulis jelas di papan nama lapo, mulai dari ikan mas arsik, sambal teri, hingga saksang, dan panggang. Terselip di antara deretan lapo, warung mi siantar dan pedagang pisang barangan khas Sumatera Utara.
Seperti dijelaskan sebelumya, Perkampungan Cawang UKI- Mayasari merupakan salah satu jejak diaspora orang Batak di Jakarta. Di luar itu, banyak juga tersebar dikantong-kantong permukiman orang Batak lainnya di Jakarta dan sekitarnya, yakni di Pulo Mas, Kernolong, Peninggaran, Pramuka, Senen, Taman Mini Indonesia Indah, hingga Tambun (Bekasi).
Awal Mulanya hanya satu keluarga yang berdiam di satu tempat itu, nanti bertambah berlipat ganda. Kalau sudah ada berdiri rumah makan khas Batak, berarti sudah banyak orang Batak di situ, rasanya kita semua bisa berkesimpulan demikian sesuai fakta yang ada di lapangan.
Martogi Sitohang (42), salah seorang seniman Batak, secara berseloroh menambahkan, cukup satu orang Batak tinggal di satu tempat. ”Nantinya dia akan mencari saudaranya atau dia yang dicari keluarganya. Kalau sudah bertemu, mereka berkumpul,” katanya.
Orang Batak tidak perlu takut tercecer di perantauan. Tinggal Datang saja ke gereja, lapo, dan terminal pasti bertemu dengan saudara. ”Cukup memberi salam, menyebutkan marga, kampung, dan nomor urut silsilah. Contohnya nih, Sihombing nomor 15, setelah dicocok-cocokkan masih saudara, pintu rumah Sihombing pun pasti terbuka,” kata Martogi lagi.
Makna kekerabatan buat orang Batak itu memang sangat luas. Kekerabatan tidak hanya tercipta karena pertalian darah, tetapi juga karena pertalian marga dan perkawinan. Martogi mengenang ketika pertama kali merantau ke Jakarta ia mencari saudara di gereja dan lapo. Saudara yang ditemukan di perantauan itulah yang membantunya mendapatkan pekerjaan. Setelah itu, ia memberikan kabar ke kampung bahwa ia telah bertemu tulang-nya (paman).
Jika si perantau berhasil, biasanya saudara atau teman sekampung akan datang menyusul. Dan, si perantau yang sukses wajib membantu. Itu sebabnya, orang Batak di perantauan terbiasa menampung pendatang Batak di rumahnya. ”Saudara saya dan istri begitu datang ke Jakarta semua tinggal dulu di rumah saya. Setelah mereka mapan, mereka bisa membangun rumah sendiri di tempat lain,” ujar Wahidin Manullang (48).
Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Medan Bungaran Antonius Simanjuntak menengarai, migrasi orang Batak keluar kampungnya didorong pandangan hagabeon (sukses berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan). Nah, Jakarta dipandang menjanjikan itu semua.
”Begitu orang Batak sukses pulang kampung, cepat-cepatlah anak muda di kampung ikut merantau atau orangtua mengirim anaknya bersekolah supaya bisa jadi seperti orang itu. Satu sukses jadi pengacara, lalu banyak yang terpengaruh ingin jadi pengacara,” katanya.
Budayawan Batak Togarma Naibaho (57) mengatakan, orang Batak umumnya memang merantau untuk sekolah dan bekerja. Pendidikan anak menjadi ukuran keberhasilan orangtua. Kasarnya, orangtua Batak rela melakukan apa saja demi pendidikan anaknya, mulai dari jual kerbau sampai kebun. Tidak heran jika pendidikan orang Batak rata-rata tinggi. ”Di Tahun 1970-an saja, pendidikan perantau Batak di Jakarta rata-rata sudah tingkat SMA,” ujar Togarma.
Sesuai dengan ucapan Togarma, Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatra ,menuliskan, orang Batak Toba, Mandailing, dan Karo termasuk orang Indonesia berpendidikan terbaik pada abad ke-19, selain Minangkabau, Minahasa, dan Toraja.
Dengan pendidikan tinggi, orang Batak bisa masuk ke berbagai posisi. Presiden Soekarno, misalnya, banyak melibatkan orang Batak dalam pembangunan. Salah seorang di antaranya adalah Friedrich Silaban, arsitek Masjid Istiqlal.
Di zaman Gubernur Ali Sadikin, orang Batak dipercaya menjadi pimpinan di pos-pos pemerintahan. Belakangan, Ali Sadikin merekrut banyak sopir taksi, bus PPD, dan guru dari Tanah Batak.
Dan … Penuh sesaklah orang Batak di kota Jakarta!
Walau di Era sekarang ini sudah makin banyak BTL yang menduduki posisi terpandang dan secara ekonomi mungkin tak perlu lagi mempraktekkan macho-macho (mangan co mangan), hingga kini simbol-simbol prinsip tersebut masih jua terlihat kental manakala para BTL ngumpul dalam acara pesta awal tahun (Bona Taon), mau pun arisan keluarga.
Paling tidak dalam retorika-nya, selalu disebutkan bahwa makanan bukan lah faktor penting dalam acara seperti itu, melainkan silaturahminya. Tidak penting makanan terhidangnya yang beraneka macam jika ada yang tidak kebagian. Sebaliknya, arisan itu akan sangat sempurna walau lauk-pauk ala kadarnya bila semua anggota bisa menikmatinya dengan tuntas. Peribahasa kontemporer yang diciptakan secara amatiran berbunyi, “Ari Selasa tu Ari Kamis, I na tupa, i ma ta pahabis” (dalam terjemahan bebasnya : “Apa yang terhidang, itu lah kita santap,- ) dapat lah dikatakan sebagai gambaran semangat Macho-macho (mangan co mangan) versi BTL itu.
Ah Saya jadi teringat pada beberapa teman asal Dairi, Sidikalang, dimana kami sering diskusi soal menciptakan manusia-manusia Batak agar bisa lebih maju di kancah persilatan (hidup ini maksudnya-red)
Kenapa kita tidak mengambil contoh bangsa Tionghoa.
Mengapa orang di Tiongkok yang juga banyak sekali, yang jauh lebih miskin dari orang miskin Indonesia, tapi harga dirinya masih lebih baik. Bukan saja jarang lihat pengemis, juga mereka itu kalau ketemu orang, mereka seperti tidak punya rasa rendah diri.
Dan itu juga yang menjadi salah satu sumber kemajuan Tiongkok. Ini yang disebut social-capital atau modal sosial. Bank Dunia menyebut modal sosial ini menjadi faktor penting kemajuan Tiongkok belakangan ini, disamping modal finansial.
Maka muncullah istilah dari parkomburan yang akan selalu saya ingat dan yang akan kami perjuangkan sebagai inti dimulainya pembangunan harga diri ini. Yakni satu moto ” Kaya Bermafaat, Miskin Bermartabat”. saya dan banyak lagi yang lain, akan bisa jadi role model (contoh/ sampel perjuangan,-) ini. Bagaimana ketika miskin dulu tidak jatuh sampai menjual harga diri dan jabatan. Dan ketika sudah beranjak ke titik mapan (duh ille!) tidak belagu alias punya serep ni roha.
Saya ingat, meski waktu itu tulisan saya sudah pernah beberapa kali ditayang/ dimuat oleh media cetak harian ternama, saya belum punya sepeda, apalagi sepeda motor. Rumah sampai sekarang pun masih menyewa di satu gang sempit dipinggiran pasar Kalimalang, Jakarta. Tidak jauh dari kampus Akpindo. Rumah Kost Yang kamar mandinya dipakai bersama beberapa rumah tangga. Yang airnya meski bukan dari sumur yang harus ditimba sendiri. Kadang butek bila banjir bandang dari Bogor tiba ke Jakarta, Yang kasur tipisnya menghampar di lantai.
Salah satu kesimpulan saya adalah bahwa membangun kepercayaan diri begitu pentingnya. Jarang saya lihat orang Keturunan Tiongkok yang rendah diri.
Mereka bisa membedakan “rendah diri’ dan “rendah hati”.
Sedang kita, kalau tidak mau dibilang kurang ajar, sering terbelit filsafat “unggah-ungguh”, “sopan-santun”, “tawaduk”, yang sebenarnya tetap bisa dilakukan tanpa harus jatuh ke derajat “rendah diri”.
Sekian untuk saat ini.
Senang bisa berbagi.
Salam,
Freddy Manullang
Posted at : bonapasogitscandinavia.com